Minggu, 06 Mei 2012

A Review to Autumn in Paris


Apa yang akan kau lakukan jika ini terjadi di kehidupanmu?

Apa yang bisa kamu lakukan jika hal ini menimpa hidupmu?

Hal yang dengan mudah membuat setiap orang ingin mengakhiri hidup. Membuat orang merasa semua yang dilakukan hanyalah sebuah hal yang sia-sia. Sekecil apapun harapan yang mereka andalkan, tak pernah sekali saja harapan itu membawa jawaban yang memuaskan. Selalu saja menjadi hal yang sama. Selalu saja kembali pada hal yang sebenarnya sangat dihindari. Hal yang disebut dengan kenyataan. Tuhan lah yang menciptakan kenyataan. Dan manusia sebaga pemeran dari semua sandiwara nya. Meskipun kadang tak mampu menerima kenyataan. Tetaplah berlaku seperti manusia normal, menerima dengan adanya. Walau mungkin ada yang harus dikorbankan.

“Kepalaku rasanya pecah” Yuka Momoyuki mengangkat kepalanya pelan dan kembali berkutat pada layar laptop yang baru saja dibukanya kurang lebih dua puluh menit yang lalu. Dimana saat itu mata nya terus saja bergerak mengikuti setiap kata yang dituliskan oleh pengarang favoritnya, Ilana Tan.

Malam ini ia memutuskan untuk membaca ‘Autumn in Paris’. Sebuah novel karya Ilana Tan yang katanya sangat mengharukan. Terus terang itu memang benar adanya. Hampir lebih dari tiga jam gadis berambut panjang selutut itu tak pernah lepas dari kegiatannya membaca buku. Banyak hal yang ia rasakan. Bisa dilihat. Sesaat ia tertawa bahagia Karena lelucon ataupun kejadian yang membuat tawanya pecah diceritakan. Tapi sesaat lagi ia malah tersendu-sendu karena kata-kata romantic atau malah cerita yang mulai tragis. Mata nya tak sembap. Tak merah. Hatinya tak terlalu sakit. Dadanya juga tak begitu sesak, tak begitu mendorongnya untuk mengakhiri hidup. Tak seperti gadis yang menjadi tokoh utama di cerita itu.

Gadis bernama Tara Dupont yang malangnya harus merasakan sakit yang dalam karena kenyataan pahit yang harus ditelannya.

Yuka jadi ingat suatu hal yang pernah diucapkan … mungkin lebih tepat pernah ditulis oleh Tatsuya Fujisawa, sang tokoh lelaki yang membuat hidup Tara berubah. Lebih indah juga lebih menyakitkan. Itu bukan salah Tatsuya. Ia tahu, itu juga bukan salah siapa-siapa. Ini hanya sebuah kenyataan yang memang harus mereka terima.

“Apakah ada yang tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang yang tidak boleh dicintai?” Itulah kutipan kata Tatsuya yang ia ingat. Bahkan untuk mengingatnya pun, Yuka harus membuka tutup buku yang kini tergeletak diantara laptopnya dan tisu-tisu yang basah karena air mata.

Mungkin Yuka belum pernah merasakan apa yang Tatsuya Fujisawa rasakan. Tapi dengan bantuan Ilana Tan semua itu jelas telah menggores hatinya. Membuat Yuka juga merasakan lubang menganga yang ada pada Tara juga Tatsuya. Dengan penggambaran yang baik juga kata-kata yang sederhana. Membuat Yuka merasakan betapa pedihnya suasana hati mereka. Sekarang dulu ataupun kedepannya. Rasanya semua sama saja.

Yuka berguman dalam hati, “Jika aku berada pada posisi Tara. Kujamin aku tak bisa hidup lagi.”

Ia menghela napas. Bersyukur sejenak hal itu tak terjadi di hidupnya. Tapi tetap saja dengan membaca ceritanya saja ia tak akan pernah bisa lupa. Ia bahkan berharap jika ada orang yang harus berada diposisi Tara dan Tatsuya. Ia harap mereka bisa bahagia dengan kenyataan yang ada walau menyesakkan dada. Dan semoga Tuhan dengan kebijakkannya tidak membuat mereka menderita.

Dengan pelan ia mencoba kembali menekan tuts-tuts keyboard laptop. Mulai mengetik dan berseru, “Ah~ Cerita sedih sepertinya lebih baik berakhir seperti ‘Sunshine Becomes You’. Setidaknya disana tidak diceritakan tentang bagaimana pasangan mereka mati. Ya…. Seperti itu lebih baik. Tak ada terlalu banyak air mata. Lebih baik langsung daripada perlahan yang begitu menyakitkan.”

Ia bernapas tak menentu. Sebentar baik lalu napasnya kembali tak beraturan. Ia berpikir sejenak. Setelah itu ia mulai menekan tombol ‘Ctrl’ dan ‘s’ secara bersamaan. Lalu ia mengetik pelan, “Review Autumn in Paris.” Setelah memastikan ia telah menjalankan mouse menuju tanda ‘Exit’ di sudut kanan atas layar laptop hitamnya, ia mulai berjalan mencari modem untuk menghubungkan laptopnya dengan internet. Dan saat itulah cerita ini ia publikasikan.